Thursday 18 December 2008

Tuesday 9 December 2008

Bumi Perkemahan Cibubur.
Beberapa waktu lalu saya diajak teman baik untuk memberi pelatihan tie dye untuk anak2 Pramuka yang sedang mengikuti Jambore Nasional 2008 di Bumi Perkemahan Cibubur. Waktu sedang menunggu teman-teman yang lain datang.. saya jalan-jalan dan berpikir... pasti banyak bahan pewarna disini. Agak jauh dari tanah lapang saya menemukan pohon yang cukup 'unik',.. kulit yang tua mengelupas dan sangat mudah untuk dilepas. Karena penasaran saya kelupas secukupnya.. dalam hati.. boleh juga diuji, bagus nggak untuk pewarna batik. Sampai di rumah buru-buru saya rebus, esoknya dicobakan ke kain polos yang sudah di mordant. Wooouuuw........ baru sekali pencelupan warna sudah timbul cantik sekali... orange kuat!! Tanpa pikir panjang saya cobakan ke kain yang sudah dibatik dan siap untuk di warna. Hasil yang didapat....menakjubkan... warna masih sangat kuat seselah melalui proses pelorotan. Pengalaman tersebut menebalkan keyakinan saya.. bahwa semua yang ada dibumi diciptakan Allah untuk penghuninya... tinggal bagaimana kita sebagai khalifah di bumi mencari, memikir, dan mengelolanya sebaik-baiknya. Penasaran tanaman apa itu...???

Sunday 31 August 2008


Foto-foto batik di kain tenun




























Thursday 5 June 2008

Saturday 31 May 2008

Workshop
Jl. H. Soleh No.2, Rt02/02
Benda Baru Pamulang Tangerang, Banten 15416
INDONESIA
Telp. 021-7492368, Fax. 021-7533188
e-mail: Sancaya.Rini@yahoo.com
Diambil dari SUARA PEMBARUAN (Endah Dwisotyati) 2007




Bagi sebagian orang, onggokan limbah di sudut-sudut tertentu halaman belakang rumah di kawasan Benda, Pamulang, Tangerang, yang asri itu, terkesan merusak pemandangan. Namun, tentu tidak demikian halnya bagi Sancaya Rini (48), empunya rumah. Onggokan kulit jengkol, kulit secang, kulit manggis, onggokan daun jarak pagar, hingga tumpukan eceng gondok kering dan lain-lain itu, punya makna penting.

Dari bahan-bahan yang bisa jadi tidak pernah dilirik orang itu, Rini, panggilan akrabnya, mampu menghasilkan karya dengan nilai tambah yang mengagumkan. Karya pertamanya bisa dilihat di rak di ruang tamu. Aneka corak batik beragam ukuran mulai dari selendang hingga kain dipajang di situ. Tak satu pun berwarna mencolok. Yang tampak hanya warna-warna unsur alam seperti cokelat tanah, hijau daun, biru langit, merah bata, dan lain-lain.

Karya berikut bisa dilihat di salah satu meja di teras belakang, berupa aneka ukuran kertas daur ulang, juga dengan warna-warna lembut. Karya lain tampak di sebuah gantungan, di tempat yang sama, seperti aneka tas dan barang kerajinan lain. Lagi-lagi, warna-warna yang dimunculkan adalah warna alam. Di tempat itu juga terlihat canting, malam, dan kain yang sedang dalam proses pembatikan.

"Satu tahun ini saya menekuni pewarna alami untuk batik. Gara-gara dimarahi suami karena memakai pewarna kimia. Saya sendiri sebetulnya paham, lingkungan sini (kawasan Benda, Pamulang, Red) masih asri. Ia mengkhawatirkan pemakaian bahan pewarna kimia akan merusak lingkungan," kata Rini, dalam percakapan di rumahnya, Rabu (3/10).

Usaha Rini memang masih berkategori skala rumah tangga. Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu memulai kegiatannya dari hobi. "Begitu anak-anak mulai beranjak besar, saya langsung mencari kesibukan," ujar Rini, yang dikaruniai empat anak laki-laki, Arundana (22), Tyok (19), keduanya kini di ITB, Uli (14), dan Dani (9), buah kasihnya dengan Sutadi, yang bekerja di perusahaan pertambangan.

Pilihan untuk mengisi kesibukan itu jatuh pada membatik. Ia belajar secara khusus di Museum Tekstil. Pilihan itu berkait dengan kekagumannya pada kain batik karya neneknya, Sri Ginah, yang masih disimpannya. "Tiba-tiba terpikir untuk mempelajari lebih dalam," ia menambahkan.

Dari sekadar hobi, Rini mengaku makin lama makin tenggelam dalam keasyikan ketika karyanya ternyata mendapat apresiasi dari keluarganya. Idealisme tergugah untuk melestarikan batik. Apalagi ketika mendengar batik dipatenkan oleh Malaysia. Kegeramannya muncul katika mendengar bahan pewarna kunyit dipatenkan oleh Jepang, dan bahan pewarna pandan dipatenkan Amerika Serikat. "Jadi, kita dapat apa?" katanya, setengah meradang.

Bukan hanya itu, ia menularkan kepandaian barunya kepada pemuda putus sekolah di sekitar rumahnya. "Saya melihat mereka tidak punya pekerjaan tetap. Lebih sering nongkrong, tidak produktif," ujarnya, tertawa.

Tentu bukan pekerjaan mudah bagi Rini. Tetapi, dorongan untuk berbuat sesuatu bagi lingkungannya jauh lebih besar daripada kekhawatiran bergaul dengan pemuda, yang oleh sebagian orang dicap negatif. Maklum, sebagian di antaranya pecandu obat-obatan terlarang. Kenyataannya, kekhawatiran sebagian orang itu berhasil ditepisnya. "Walaupun akhirnya mengalami seleksi alam. Dari semula 15 orang, akhirnya delapan orang," Rini tersenyum kecut.

Toh, ia tidak berkecil hati. Berbekal tekad yang membara, ia mewujudkan cita-citanya untuk serius menekuni pewarna alam. Ia mendirikan usahanya dalam bentuk workshop, pada 2005, yang ia namakan Creative Kanawida. Kegiatan utamanya membatik, membuat kertas daur ulang, menganyam, dan membuat keramik.

Soal nama itu, Rini punya cerita sendiri. Creative, katanya, terinspirasi dari kegiatan dua anak muda di Kota London, Inggris, yang menjadikan gudang usang sebagai pusat berkreativitas seniman-seniman yang kurang beruntung, dan dalam waktu singkat berkembang menjadi wirausaha yang cukup besar.

Kanawida diambil dari kata dalam bahasa Kawi, yang berarti aneka warna. "Bukan hanya karena kegiatannya aneka macam, tetapi juga proses pewarnaan menggunakan pewarna alam dari bermacam-macam tanaman yang menghasilkan aneka warna menakjubkan," ujarnya.

"Pemulung"

Sambil berkelakar ia menyebut dirinya pemulung. Untuk beberapa bahan pewarna alami seperti tarum dan secang, ia "berburu" hingga ke Jawa Timur. Namun, bahan pewarna alami yang lain cukup ia peroleh dari sekeliling, termasuk yang sudah berkategori limbah seperti kulit jengkol maupun kulit manggis. Sambil tertawa ia mengisahkan, kegiatannya berburu kulit manggis akhirnya terdengar suatu pasar swalayan. "Setiap sore akhirnya kami dapat kiriman manggis dari mereka, yang sudah tak layak jual," ujarnya.

Kiriman manggis itu, disebutnya sebagai kegiatan yang menyenangkan. Warga sekitar pun ikut senang karena kebagian manggis yang masih bisa dikonsumsi.

Memang, eksperimen yang dilakukannya tidak sekali ja- di. Untuk mendapatkan warna yang pas, sering kali pencelupan harus dilakukan tujuh-delapan kali. Kadang-kadang ia mencampur pewarna alami dari bahan yang berlainan. Itu pun tidak selalu menghasilkan warna sesuai harapan. Bahkan teori tentang warna, yang pernah ia pelajari khusus, tidak berlaku di proses pewarnaan dengan bahan alami. Ia pun mendalami proses fiksasi. Aktivitas itu, menurut Rini, sangat menuntut ketelatenan dan kesabaran. "Satu hal yang saya pelajari, bisa jadi ini nilai spiritual yang saya peroleh, bahwa Tuhan sudah menyediakan semua bagi kita," katanya, menunjuk pada warna-warna hasil pemrosesannya.

Berkat ketekunan itu pula Rini memperoleh pengetahuan warna dari bahan pewarna alam lebih kuat daripada warna dari bahan kimia. Kain dengan bahan pewarna kimia akan cenderung memudar jika terlalu sering dicuci, berbeda dengan kain dengan bahan pewarna alam yang semakin sering dicuci semakin bagus, kecuali bahan pewarna tarum.

Rini mengendurkan semangat berbicaranya tentang pewarna alami ketika ditanya tentang harga produknya. Harga produknya sangat bergantung pada tingkat kesulitan proses pembuatannya. Sambil menunjuk selembar selendang batik merah dua motif dari bahan campuran serat nenas dan sutra, dengan pewarna alami, ia menyebutkan harga Rp 125.000. Selembar jarit, atau kain batik panjang dengan pewarna tarum, harganya Rp 1,5 juta. Produk dari kertas daur ulang harganya bervariasi. Selembar amplop Rp 1.000 per lembar, sedangkan amplop berikut kartu ucapan tanpa tulisan Rp 2.500.

Untuk kertas daur ulang, Rini menyerahkan pemasarannya kepada para pemuda yang dibinanya. "Pemasukan dari produk kertas daur ulang itu khusus untuk mereka," ujarnya.

Rini mengelak bicara tentang penghasilan. Jangankan bicara mengenai keuntungan, uang belanja pun, menurut pengakuannya, ikut jadi korban. Namun, semangat Rini tak mengendur. Apalagi jika melihat ada yang mengapresiasi aktivitasnya. Kegembiraannya membuncah ketika menerima permintaan dari guru anak bungsunya, untuk membawa murid-murid SD Al Azhar Pamulang, melongok aktivitasnya membatik.

Sama gembiranya ketika ia harus mengajari ibu-ibu dari sebuah perusahaan swasta belajar membatik dengan bahan pewarna alami. "Paling tidak saya bisa memasukkan nilai-nilai bagaimana kita tidak harus mencemari lingkungan hidup kita," katanya.

Rini terus bersemangat membesarkan workshop-nya. Selain melayani pemesanan langsung, ia memajang karyanya di suatu galeri milik keluarganya di kawasan Jalan Palatehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Ia semakin bersemangat ketika produk-produknya terpilih dalam kategori produk unggulan Dinas Koperasi DKI Jakarta. Buah dari ketekunannya mulai tampak, karena ia memperoleh tempat pemasaran di Gedung UKM Center Waduk Melati Jakarta Pusat.

Namun ia tidak berpuas diri. Ia masih menyimpan segudang keinginan. "Saya ingin mereka bisa meneruskan sekolah," katanya, menunjuk para pemuda yang membantunya.





Kekayaan Alam Indonesia yang demikian melimpah selayaknya menginspirasikan kita bagi pemanfaatan dan pengembangannya